Konsep Maqashid Syari'ah Al-Syatibi


Sebagai sumber utama agama Islam, Alquran mengandung berbagai ajaran. Ulama membagi kandungan Alquran dalam tiga bagian besar, yaitu aqidah, akhlak, dan syariah. Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, akhlak berkaitan dengan etika dan syariah berkaitan dengan berbagai aspek hukum yang muncul dari aqwd (perkataan) dan afd (perbuatan). Kelompok terakhir (syariah), dalam sistematika hukum Islam, dibagi dalam dua hal, yakni ibadah (habl min Allah} dan muama-lah (habl min al-nas).
Alquran tidak memuat berbagai aturan yang terperinci tentang ibadah dan muamalah. la hanya mengandung dasar-dasar atau prinsip-prinsip bagi berbagai masalah hukum dalam Islam. Bertitik tolak dari dasar atau prinsip ini, Nabi Muhammad Saw. menjelaskan melalui berbagai hadisnya. Kedua sumber inilah (Alquran dan Hadis Nabi) yang kemudian dijadikan pijakan ulama dalam mengembangkan hukum Islam, terutama di bidang muamalah. Dalam kerangka ini, Al-Syatibi mengemu-kakan konsep maqashid d-syariah. Secara etimologis (Lugawi) maqâshid al-syarî'ah terdiri dari dua unsur. Kata maqâshid , yang berarti tujuan atau maksud. Sedangkan kata alsyarî'ah berakar dari kata kerja Syara'a yang berarti undang-undang, aturan dan syari'at. Dengan demikian maqâshid al-syarî'ah dapat diartikan dengan tujuan atau maksud penetapan hukum syara dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan.258 Menurut istilah, Al-Syatibi menyatakan, "Sesungguhnya syariah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat."
Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syariah menurut Al-Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tidak satu pun hukum Allah Swt. yang tidak mempunyai tujuan karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Kemaslahatan, dalam hal ini, diartikannya sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak.
Dengan demikian, kewajiban-kewajiban dalam syariah menyangkut perlindungan maqashid al-syari'ah yang pada gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan manusia. Al-Syatibi menjelaskan bahwa syariah berurusan dengan perlindungan mashalih, baik dengan cara yang positif, seperti demi menjaga eksistensi mashalih, syariah mengambil berbagai tindakan untuk menunjang landasan-landasan mashalih; maupun dengan cara preventif, seperti syariah mengambil berbagai tindakan untuk melenyapkan unsur apa pun yang secara aktual atau potensial merusak mashalih.
          1.      Pembagian Maqashid al-Syari'ah
Menurut Al-Syatibi, kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur pokok kehidupan manusia dapat diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam kerangka ini, ia membagi maqashid menjadi tiga tingkatan, yaitu dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.         
a.      Dharuriyat
Jenis maqashid ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan manusia di dunia dan di akhirat yang mencakup pemeliharaan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia, yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Pengabaian terhadap kelima unsur pokok tersebut akan menimbulkan kerusakan di muka bumi serta kerugian yang nyata di akhirat kelak. Pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta dapat dilakukan dengan cara memelihara eksistensi kelima unsur pokok tersebut dalam kehidupan manusia dan melindunginya dari berbagai hal yang dapat merusak. Sebagai contoh, penunaian rukun Islam, pelaksanaan kehidupan manusiawi serta larangan mencuri masing-masing merupakan salah satu bentuk pemeliharaan eksistensi agama dan jiwa serta perlindungan terhadap eksistensi harta.
b.      Hajiyat
Jenis maqashid ini dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan, menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur pokok kehidupan manusia. Contoh jenis maqashid ini antara lain mencakup kebolehan untuk melaksanakan akad mudharabah, musaqat, muzara'ah dan bai salam, serta berbagai aktivitas ekonomi lainnya yang bertujuan untuk memudahkan kehidupan atau menghilangkan kesulitan manusia di dunia.
c.      Tahsiniyat
Tujuan jenis maqashid yang ketiga ini adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia. la tidak dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi berbagai kesulitan, tetapi hanya bertindak sebagai pelengkap, penerang dan penghias kehidupan manusia. Contoh jenis maqashid ini antara lain mencakup kehalusan dalam berbicara dan bertindak serta pengembangan kualitas produksi dan hasil pekerjaan.

           2.      Korelasi Antara Dharuriyat, Hajiyat, dan Tahsiniyat
Dari hasil penelaahannya secara lebih mendalam, Al-Syatibi menyimpulkan korelasi antara dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat sebagai berikut:
Maqashid dharuriyat merupakan dasar bagi maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat, kerusakan pada maqashid dharuriyat akan membawa kerusakan pula pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat. Sebaliknya, kerusakan pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat tidak dapat merusak maqashid dharuriyat. Kerusakan pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat yang bersifat absolut terkadang dapat merusak maqashid dharuriyat. Pemeliharaan maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat diperlukan demi pemeliharaan maqashid dharuriyat secara tepat. Dengan demikian, apabila dianalisis lebih jauh, dalam usaha mencapai pemeliharaan lima unsur pokok secara sempurna, ketiga tingkat maqashid tersebut tidak dapat dipisahkan.
Tampaknya, bagi Al-Syatibi, tingkat hajiyat merupakan penyempurna tingkat dharuriyat, tingkat tahsiniyat merupakan penyempurna lagi bagi tingkat hajiyat, sedangkan dharuriyat menjadi pokok hajiyat dan tahsiniyat Pengklasifikasian yang dilakukan Al-Syatibi tersebut menunjukkan betapa pentingnya pemeliharaan lima unsur pokok itu dalam kehidupan manusia. Di samping itu, pengklasifika-sian tersebut juga mengacu pada pengembangan dan dinamika pemahaman hukum yang diciptakan Allah Swt. dalam rangka mewujudkan kemaslahatan manusia. Berkenaan dengan hal tersebut, Mustafa Anas Zarqa men-jelaskan bahwa tidak terwujudnya aspek dharuriyat dapat merusak kehidupan manusia dunia dan akhirat secara keseluruhan. Pengabaian terhadap aspek hajiyat tidak sampai merusak keberadaan lima unsur pokok, tetapi hanya membawa kesulitan bagi manusia sebagai mukallaf dalam merealisasikannya. Adapun pengabaian terhadap aspek tahsiniyat mengakibatkan upaya pemeliharaan lima unsur pokok tidak sempurna. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa segala aktivitas atau sesuatu yang bersifat tahsiniyat harus dikesampingkan jika bertentangan dengan maqashid yang lebih tinggi (dharuriyat dan hajiyat)



Referensi:
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari'ah Menurut Al-Syatibi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996

Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam: Studi tentang Hidup dan Pemikiran Al-Syathibi, Penerbit Pustaka, Bandung, 1996
loading...

0 komentar:

Post a Comment