Sejarah Perkembangan Tasawuf

Ibn al-Jauzi dan Ibn Khaldun secara garis besar membagi kehidupan kerohanian dalam islam menjadi dua, yakni zuhud dan tasawuf. Hanya saja diakui bahwa keduanya merupakan istilah baru, sebab keduanya belum ada pada masa Nabi Muhammad saw. Dan tidak terdapat dalam Al-Qur’an, kecuali zuhud disebut sekali dalam surat yusuf ayat 20. Istilah popular pada masa beliau ialah sahabat. Mereka adalah orang-orang yang terhindar dari sikap syirik dan pola kehidupan jahiliyah, selalu mendengar dan meresapi Al-Qur’an.
Seperti telah diketahui, bahwa sejarah islam ditandai dengan peristiwa tragis, yakni pembunuhan terhadap diri khalifah ketiga, Ustman bin Affan ra.dari peristiwa itu secara berantai terjadi kekacauan dan kemerosotan akhlak. Hal ini menyebabkan sahabat-sahabat yang masih ada, dan pemuka-pemuka islam yang mau berpikir, berikhtiar membangkitkan kembali ajaran islam, pulang masuk masjid,kembali mendengarkan kisah-kisah mengenai targhib dan tarhib, mengenai keindahan hidup zuhud dan lain sebagainya.inilah benih tasawuf yang paling awal.
  

   a.       Masa Pembentukan

Sudah disebutkan bahwa ada segolongan umat islam yang belum merasa puas dengan pendekatan diri kepada Tuhan melalui ibadah sholat, puasa, dan haji. Mereka ingin nerasa lebih dekat lagi dengan Tuhan. Jalan untuk itu disebut tasawuf.
Pada abad I Hijriyah bagian kedua, lahirlah Hasan Basri, seorang zahid pertama dan termasyhur dalam sejarah tasawuf. Ia lahir di Madinah pada tahun 642 M, dan meninggal di Basrah pada tahun 728 M. Hasan Basri tampil pertama dengan membawa ajaran khauf dan raja’, mempertebal takut dan harap kepada Tuhan, setelah itu tampil pula guru-guru yang lain, yang dinamakan qari’, mengadakan gerakan pembaharuan hidup kerohanian di kalangan kaum muslimin.
Kemudian pada akhir abad I Hijriyah, muncul Rabi’ah Al-Adawiyah (wft.185 H), seorang sufi wanita yang terkenal dengan ajaran cintanya (hub al-ilah). Selanjutnya pada abad II Hijriyah ini, tasawuf tidak banyak berbeda dengan abad sebelum Pada masa ini terlihat tanda-tanda keruntuhan kian jelas, penyelewengan dan sekandal melanda dan mengancam kehancuran reputasi baiknya. Tak terelak lagi, legenda-legenda tentang keajaiban dikaitkan dengan tokoh-tokoh sufi dikembangkan, dan massa awam segera menyambut tipu muslihat itu, bahkan terjadi pengkultusan terhadap wali-wali.
 Saat itu mulai ada sebagian yang menampilkan istilah-istilah yang pelik seperti mengenai kebersihan jiwa (thaharah al-nafs), kemurnian hati (naqy al-qalb), hidup ikhlas, menolak pemberian orang, bekerja mencari makan dengan usaha sendiri, berdiam diri, seperti yang dianjurkan oleh Ali Syaqiq al-Balkhy,Ma’ruf al-Karkhy dan sebagainya,melakukan perjalanan (safar), berpuasa, mengurangi tidur (sahar), serta memperbanyak dzikir dan riyadhah, seperti yang acap kali dianjurkan oleh Ibrahim ibnu Adham. Selanjutnya memberikan arti yang istimewa kepada istilah-istilah yang sudah terdapat sebelumnya, seperti yang digamabrkan oleh Malik ibn Dinar dalam SyathahatNya.
Abu al-Wafa menyimpulkan, bahwa zuhud islam pada abad I dan II hijriyah mempunyai karakter sebagai berikut:
1.   Menjauhkan diri dari dunia menuju ke akhirat yang berakar pada nas agama, yang dilatarbelakangi oleh sosio politik, coraknya bersifat sederhana, praktis (belum berwujud dalam sistematika dan teori tertentu), tujuannya untuk meningkatkan moral.
2.   Masih bersifat praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-prinsip teoritis atas kezuhudannya itu. Sementara sarana-sarana praktisnya adalah hidup dalam ketenangan dan kesederhanaan secara penuh, sedikit makan maupun minum, banyak beribadah danmengingat Allah SWT. Dan berlebih-lebihan dalam merasa berdosa, tunduk mutlak kepada kehendaknya, dan berserah diri kepadanya. Dengan demikian tasawuf pada masa ini mengarah pada tujuan moral.
3.  Motif zuhudnya ialah rasa takut, yaitu rasa taktu yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh sementara pada akhir abad II Hijriyah, ditangan Rabi’ah al-Adawiyah muncul motif rasa cinta, yang bebas dari rasa takut terhadap adhab-Nya maupun harapan terhadap pahalanya. Hal ini dicerminkan lewat penyucian diri, dan abstraksi dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan.
4.     Menjelang akhir abad II Hijriyah, sebagai zahid, khususnya di Khurusan, dan Rabi’ah al-Adawiyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bisa dipandang sebagai fase pendahuluan tasawuf, atau cikal bakal para pendiri tasawuf falsafi abad III dan IV Hijriyah. Abu al-Wafa lebih sependapat, kalau mereka dinamakan zahid,qari’ dan nasik (bukan sufi).

   b.      Masa Pengembangan

Tasawuf pada abad III dan IV Hijriyah sudah mempunyai corak yang berbeda sama sekali dengan tasawuf abad sebelumnya. Pada abad ini tasawuf sudah bercorak kefana’an yang menjurus kepersatuan hamba dengan khalik. Orang sudah ramai membahas tentang lenyap dalam kecintaan (fana’fi al-Mahbub),bersatu dengan kecintaan(ittihad bi al-Mahbub), kekal dengan tuhan(baqa’ bi al- Mahbub), menyaksikan Tuhan (musyahadah), bertemu dengan-Nya (liqa’) dan menjadi satu dengan-Nya (‘ain al-jama’) seperti yang diungkapkan oleh AbuYazid al-Bushtam (261 H),seorang sufi dari Persia yang pertama kali mempergunakan istilah fana’(lebur atau hancurnya perasaan) sehingga dia anggap sebagai peletak batu pertama dalam aliran ini.
Menurut al-Hajj, manusia  mempunyai dua sifat, yakni sifat kemanusiaan (nasut) dan sifat ketuhanan (lahut). Tuhan menciptakan manusia dalam “copi”-Nya. Landasan pemikirannya didasarkan kepada surat shad ayat 72, bahwa Adam mempunyai dua unsur, yakni jasmani dan rohani. Unsur jasmani dari materi, sedang unsur ruhaninya berasal dari roh tuhan.
Pada akhir abad III orang berlomba-lomba pula menyatakan dan mempertajam pemikirannya tentang kesatuan penyaksian ( wahdat al-syuhud), kesatuan kejadian ( wahdat al- Wujud) kesatuan agama-agama (wahdat al-adyan), berhubungan dengan Tuhan (ittishal), kendahan dan kesempurnaan Tuhan ( jamal dan kamal), manusia sempurna(insan kamil), yang kesemuanya itu tak mungkin dicapai oleh para sufi kecuali dengan latihan yang teratur (riyadhah). Kemudian datanglah junaidi al-Bagdady meletakkan dasar-dasar ajaran tasawuf dan thariqah, cara mengajar dan belajar ilmu tasawuf, syekh, mursyid, murid dan murad, segingga dia mendapat predikat syekh al- thaifahb(ketua rombongan sufi).
Dengan demikian, tasawuf abad III dan IV Hijriyah sudah sedemikian berkembang, sehingga sudah merupakan mazhab, bahkan seolah-olah agama yang berdiri sendiri.

   c.       Masa Konsolidasi

Tasawuf pada abad V Hijriyah mengandalakan konsolidasi. Pada masa ini ditandai kompetisi dan pertarungan antara tasawuf semi falsafi dengan tasawuf sunni. Tasawuf sunni memenangkan pertarungan, dan berkembang sedemikian rupa, sedang tasawuf semi falsafi tenggelam dan akan muncul kembali pada abad VI Hijriyah dalam bentuknya yang lain. Tasawuf sunni adalah aliran sufi yang pendapat moderat dan ajaran tasawufnya selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah atau denagn kata lain tasawuf aliran ini akan selalu berpatokan syari’at. Kemenangan tasawuf sunni ini dikarenakan menangnya aliran theology Ahl sunnah wa al-jama’ah yang dipelopori oleh Abu al-Hasan al-Asyary (w.324 H), yang mengadakan kritik pedas terhadap teori Abu Yazid al-Bushthamy dan al-Hallaj, sebagaimana tertuang dalam syathahiyatnya yang nampak bertentangan dengan kaidah dan akidah islam. Tasawuf Sunni mengadakan pembaharuan dengan mengembalikan tasawuf ke landasan Al-Qur’an dan as-Sunnah dan mengaitkan keadaan dan tingkatan rohaniah kepada kedua landasan tersebut. Tokoh yang paling berpengaruh dalam aliran ini adalah al-Qusyairi, al-Harawi, dan al-Ghazali. Dengan demikian pada abad kelima Hijriah, Tasawuf sunni berada dalam posisi yang sangat menentukan dan memungkinkan tersebar luas di kalangan masyarakat Islam sampai sekarang.
.                  Ciri-ciri dan karakteristik ajaran Tasawuf Sunni :
a.      Melandaskan diri pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b.    Tidak menggunakan terminology-teminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan-ungkapan syathahat
c.      Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan Manusia
d.     Kesinambungan antara hakikat dengan syari’at
e.    Lebih terkonsentrasi pada pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengobatan jiwa dengan cara ruyadhah (latihan-latihan) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli
Oleh karena itu tasawuf pada abad ini cenderung mengadakan pembaharuan atau menurut istilah merupakan periode konsolidasi yakni periode yang ditandai pemantapan dan pengembalian tasawuf kelandasannya, al-qur’an dan al-Hadist. Tokoh-tokohnya ialah al-Qusyairi(376-465 H), Al-Harawi (396 H), dan al-Ghazali (450- 505 H).
Al-Qusyairi adalah salah seorang tokoh sufi utama abad V Hijriyah. Kedudukannya demikian penting mengingat karyanya banyak dipakai sebagai rujukan para sufi, seperti al-Risalah al-Qusyairiyah, isinya lengkap,baik secara teoritis maupun praktis. Dia terkenal pembela theology ahl Sunnah wa al-Jama’ah, yang mampu mengompromikan syari’ah dan hakikah. Dia berusaha mengembalikan tasawuf pada landasannya, al-Qur’an dan al-Sunnah.

   d.      Masa Falsafi

Tasawuf filosofii adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistik dengan visi rasional. Berbada dengan tasawuf Sunni, seperti tasawuf al-Qusyairi dan al-Ghazali, tasawuf Filosofis menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Pemaduan antara unsur tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf filosofis telah membuat ajaran tasawuf aliran ini bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat diluar Islam seperti Yunani, Persia, India, dan agama nasrani. Meskipun demilian orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap terpelihara. Ciri umum dari aliran filosofis antara lain banyak ungkapan dan istilah yang digunakan samar-samar terkadang hanya dipahami oleh kalangan tertentu, terutama yang memahami dan mendalami ajaran tasawuf jenis ini, sehingga tasawuf filosofis tidak dapat dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metode didasarkan pada rasa (dzanq), begitu juga sebaliknya tidak dapat dikatagorikan kepada tasawuf dalam pengertian murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat.
            Para sufi pendiri aliran tasawuf filosofis ini:
a.       memahami ilmu agama dengan mendalami seperti Fiqih,Hadis, Tafsir, dan Ilmu kalam.
b.  Mereka juga dikenal dengan baik filsafat Yunani dan berbagai aliran filsafat lainnya. Mereka juga mengkaji pemikiran para filosof islam seperti al-Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain.
c.    Selain itu mereka juga dipengaruhi oleh aliran bathiniyaah sekte Islamiyah dan risalah ikhwal al-Shafa. Karena itu mereka sering mendapat kritikan terutama dari kalangan par fuqaha karena pendapat mereka tentang kesatuan wujud, kesatuan agama dan akibat yang ditimbulakan uang menurut para fuqaha bertentangan dengan akidah islam.
Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah  menyimpulkan bahwa ada empat objek utama yang menjadi perhatian para sufi filosofis yaitu:
a.       Latihan rohaniah dengan ras, intuisi, serta intropeksi diri.
b.      Illuminasi atau hakikat yang terungkap dari alam ghaib
c.   Peristiwa-peristiwa dalam alam yang berpengaruh terhadap berbagai kekeramatan dan keluarbiasaan
d.      Shathahiyat, ungkapan yang samar-samar yang telah melahirkan reaksi masyarakat berupa pengingkaran dan penyatuan.
            Tasawuf falsafi mempunyai beberapa karakteristik antara lain:
1.      Tasawuf  ini didasarkan pada latihan rohaniyah untuk peningkatan moral, sedangkan ilmu iluminasi sebagai metode untuk mengetahui berbagai hakikat realitas, yang menurut penganutnya dapat dicapai dengan fana.
2.   Mereka juga sering menyamarkan ungkapan-ungkapan tentang hakikat realitas ajaran mereka dengan berbagai simbol, sehingga ajaran mereka tidak dapat dipahami begitu saja olehorang lain, dan sukar ditafsirkan, seperti ungkapan Abu Yazid al-Busthami, dan al-Hallaj.
Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni. kalau tasawuf sunni lebih menonjol kepada segi praktis , sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendektan-pendekatan filosofis yang ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil.

e.       Masa Pemurnian
A.J. Arberry menyatakan, bahwa masa Araby, ibn Faridh, dan al-Rumy adalah masa keemasan gerakan tasawuf, secara teoritis ataupun praktis. Pengaruh dan praktek-praktek tasawuf kian tersebar luas melalui thariqah-thariqah, dan para sulthan serta penggerak tak segan-segan pula mengeluarkan perlindungan dan kesetiaan pribadi mereka.
Pada masa ini terlihat tanda-tanda keruntuhan kian jelas, penyelewengan dan sekandal melanda dan mengancam kehancuran reputasi baiknya. Tak terelak lagi, legenda-legenda tentang keajaiban dikaitkan dengan tokoh-tokoh sufi dikembangkan, dan massa awam segera menyambut tipu muslihat itu, bahkan terjadi pengkultusan terhadap wali-wali.
Kemudian tasawuf pada waktu itu ditandai bid’ah, khufarat, mengabaikan syari’at dan hukum- hukum moral dan penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, berbentengkan diri dari dukungan awam untuk menghindarkan diri dari rasionalitas,dengan menampilkan amalan yang irrasional. Azimat dan ramalan serta kekuatan ghaib ditonjolkan.
Orang yang berilmu pengetahuan dan beriman, baik masa dahulu maupun sekarang, tidak ada kemiripan dengan ahl al- ittihad dan ahl al-hulul yang bathil, mereka adalah orang islam dan ahl sunnah wa al-jama’ah, mereka termasuk ahl al-ma’rifah dan ahl al-yaqin, diberi sinar al-Qur’an.
Ibnu Taimiyah lebih cenderung bertasawuf sebagaimana yang pernah diajarkan Rasulullah saw, yakni menghayati ajaran islam, tanpa mengikuti aliran thariqah tertentu, dan tetap melibatkan diri dalam kegiatan social, sebagaimana manusia pada umumnya. Tasawuf model ini yang cocok untuk dikembangkan di masa modern seperti sekarang.


Referensi:
Abu al-Wafa al-Ghanami al-Taftazani, Madkhal Ilat Tashawwuf al-Islami, Daruts Tsaqofah, Kairo, 1976,
Abu Bakar, Islam dan Mistik, Prasaan dalam Simposium Mengenalkan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 
Abd. Al-Qadir Mahmud, falsafatuash-shufiyyah fi al-Islam, Daral-Fikri al-Arabi, Mesir, Tahun 1967
Damanhuri, akhlak Tasawuf, Banda Aceh, Pena, Tahun 2010, 
Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah, Al-Mathaba’ ah al-Babiyahs, Kairo
loading...

0 komentar:

Post a Comment