Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali lahir di Tus, sebuah kota kecil di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H (1058 M). (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali). Sejak kecil, Imam Al-Ghazali hidup dalam dunia tasawuf. la tumbuh dan berkembang dalam asuhan seorang sufi, setelah ayahnya yang juga seorang sufi meninggal dunia.
Sejak muda, Al-Ghazali sangat antusias terhadap ilmu
pengetahuan. Ia pertama-tama belajar bahasa Arab dan fiqih di kota Tus,
kemudian pergi ke kota Jurjan untuk belajar dasar-dasar Usul Fiqih. Setelah
kembali ke kota Tus selama beberapa
waktu, ia pergi ke Naisabur untuk melanjutkan rihlah ilmiahnya. Di kota ini,
Al-Ghazali belajar kepada Al-Haramain Abu Al-Ma'ali Al-Juwaini, sampai yang
terakhir ini wafat pada tahun 478 H (1085 M).
Setelah itu, ia berkunjimg ke kota Baghdad, ibu kota
Dau-lah Abbasiyah, dan bertemu dengan Wazir Nizham Al-Mulk. Darinya, Al-Ghazali
mendapat penghormatan dan penghargaan yang besar. Pada tahun 483 H (1090 M), ia
diangkat menjadi guru di Madrasah Nizhamiyah. Pekerjaannya ini dilaksanakan dengan
sangat berhasil, sehingga para ilmuwan pada masa itu menjadikannya sebagai
referensi utama. Selain mengajar, Al-Ghazali juga melakukan bantahan-bantahan
terhadap berbagai pemikiran Batiniyah, Ismailiyah, filosof, dan lain-lain. Pada
masa ini, sekalipun telah menjadi guru besar, ia masih merasakan kehampaan dan
keresahan dalam dirinya. Akhirnya, setelah merasakan bahwa hanya kehidupan
sufistik yang mampu memenuhi kebutuhan rohaninya, Al-Ghazali memutuskan untuk menempuh
tasawuf sebagai jalan hidupnya.
Oleh karena itu, pada tahun 488 H (1095 M),
Al-Ghazali meninggalkan Baghdad dan pergi menuju ke Syria untuk merenung,
membaca, dan menulis selama kurang lebih 2 tahun. Kemudian, ia pindah ke
Palestina untuk melakukan aktivitas yang sama dengan mengambil tempat di Baitul
Maqdis. Setelah menunaikan ibadah haji dan menetap beberapa waktu di kota
Iskandariah, Mesir, Al-Ghazali kembali ke tempat kelahirannya, Tus, pada tahun
499 H (1105 M) untuk melanjutkan aktivitasnya, berkhalwat dan beribadah. Proses
pengasingannya tersebut berlangsung selama 12 tahun dan, dalam masa ini, ia banyak
menghasilkan berbagai karyanya yang terkenal, seperti Kitab Ihya Ulum al-Din.
Pada tahun yang sama, atas desakan penguasa pada
masa itu, yaitu wazir Fakhr Al-Mulk, Al-Ghazali kembali mengajar di Madrasah
Nizhamiyah di Naisabur. Namun, pekerjaannya itu hanya berlangsung selama dua
tahun. Ia kembali lagi ke kota Tus untuk mendirikan sebuah madrasah bagi para fuqaha
dan mutashawwifin. Al-Ghazali memilih kota ini sebagai tempat
menghabiskan waktu dan energinya untuk menyebarkan ilmu pengetahuan, hingga
meninggal dunia pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H atau 19 Desember HUM.
Al-Ghazali merupakan sosok ilmuwan dan penulis yang
sangat produktif. Berbagai
tulisannya telah banyak menarik perhatian dunia, baik dari kalangan Muslim
maupun non-Muslim. Para pemikir Barat Abad Pertengahan, seperti
Raymond
Martin, Thomas Aquinas, dan Pascal, ditengarai banyak dipengaruhi oleh
pemikiran Al-Ghazali. Pasca periode sang Hujjatullah ini, berbagai hasil karyanya
yang telah banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, seperti Latin,
Spanyol, Yahudi, Francis, Jerman, dan Inggris, dijadikan referensi oleh kurang
lebih 44 pemikir Barat.
Al-Ghazali, diperkirakan, telah menghasilkan 300 buah
karya tulis yang meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti logika, filsafat, moral,
tafsir, fiqih, ilmu-ilmu Alquran, tasawuf, politik, administrasi, dan perilaku ekonomi.
Namun demikian, yang ada hingga kini hanya 84 buah. Di antaranya adalah Ihya
'Ulum al-Din, al-Munqidz min al-Dhalal, Tahafut al-Falasifah, Minhaj
Al-'Abidin, Qawa'id Al-'Aqaid, al-Mustashfa min 'llm al-Ushul, Mizan Al-'Amal,
Misykat al-Anwar, Kimia al-Sa'adah, al-Wajiz, Syifa al-Ghalil, dan al-Tibr
al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk.
loading...
0 komentar:
Post a Comment