Wadiah
menurut bahasa adalah barang yang dititipkan orang lain supaya dijaga.
Sedangkan menurut istilah Wadiah adalah pemberian otoritas pemilikan
suatu barang kepada orang lain agar dijaga secara jelas dan tegas.
Para
ulama dari kalangan mazhab Maliki, Syafi‟i, dan Hambali (jumhurul ulama)
mendefinisikan Wadiah sebagai mewakilkan orang lain untuk memelihara
harta tertentu dengan cara tertentu. Sedangkan ulama mazhab Hanafi berpendapat wadiah
adalah mengikut sertakan orang lain dalam memelihara hartabaik dengan
ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun isyarat.
Menurut
Syeikh Taqiyudin Abu Bakar Bin Muhammad Al Husaini, Wadiah adalah
sesuatu yang dititipkan (dipercayakan) oleh pemiliknya kepada orang lain.
Menurut
Zuhaily, Wadiah adalah pemberian mandate untuk menjaga sebuah barang
yang dimiliki seseorang dengan cara tertentu.
Menurut
PSAK 59, Wadiah adalah titipan nasabah yang harus dijaga dan
dikembalikan setiap saat apabila nasabah yang bersangkutan menghendaki Bank
bertanggung jawab atas pengembalian titipan.18 Wadiah merupakan nama
yang berlawanan antara memberikan harta untuk dipelihara dengan penerimaan yang
mashdar dari dari awda‟( ida‟) yang berarti titipan dan membebaskan barang yang
dititipkan.
Secara
komulatif, wadiah memiliki dua pengertian, yang pertama pernyataan dari
seseorang yang telah memberikan kuasa atau mewakilkan kepada pihak lain untuk
memelihara atau menjaga hartanya; kedua, sesuatu harta yang dititipkan
seseorang kepada pihak lain dipelihara atau dijaganya.
Macam Macam Wadiah
Wadiah
dibagi menjadi 2 macam:
a Titipan Wadiah yad Amanah
Secara
umum wadiah adalah titipan murni dari pihak penitip (muwaddi’)
yang mempunyai barang/asset kepada pihak penyimpanan (mustawda’) yang
diberi amanah/kepercayaan, baik individu maupun badan hukum, tempat barang yang
dititipkan harus dijaga dari kerusakan, kerugian, keamanan dan keutuhannya, dan
dikembalikan kapan saja penyimpanan menghendaki.
Barang/asset
yang dititipkan adalah sesuatu yang berharga yang dapat berupa uang, barang,
dokumen, surat berharga atau barang barang berharga lainnya. Dalam konteks ini
, pada dasarnya pihak penyimpan (custodian) sebagai penerima kepercayaan
(trustee) adalah yad al-amanah atau „tangan amanah‟ yang berarti
bahwa ia tidak diharuskan bertanggung jawab jika sewaktu dalam
penitipan
terjadi kehilangan atau kerusakan pada barang/asset titipan, selama hal ini
bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara
barang/aset titipan.Biaya penitipan boleh dibebankan kepada pihak penitip
sebagai kompensasi atas tanggungjawab pemeliharaan. Denganprinsip inipihak
penyimpan tidak boleh menggunakan atau memanfaatkan barang/aset yang
dititipkan melainkan hanya menjaganya. Selain itu barang/aset yang ditipkan tidak
boleh dicampuradukan dengan barang/aset lain, melainkan harus dipisahkan untuk
masing-masing barang/aset penitip. Karena menggunakan prinsip yad al-amanah,
akad titipan seperti ini biasa disebut wadi’ah yad amanah dengan skema
seperti pada gambar di bawah ini:
b Titipan Wadi’ah yad Dhamanah
Dari
prinsip yad al-amanah atau „tangan amanah‟ kemudian berkembang prinsip yad-dhamanah
atau „tangan penanggung‟ yang berarti bahwa pihak penyimpan bertanggung jawab
atas segala kerusakan atau kehilangan yang terjadi pada barang/aset titipan.
Hal ini berarti bahwa pihak penyimpan atau custodian adalah trustee yang
sekaligus guarantor„penjamin‟ keamanan barang/aset yang dititipkan. Ini
juga berarti bahwa pihak penyimpan telah mendapatkan izin dari pihak penitip
untuk mempergunakan barang/aset yang dititipkan tersebut untuk aktivitas
perekonomian tertentu, dengan catatan bahwa pihak penyimpan akan mengembalikan
barang/aset yang dititipkan secara utuh pada saat penyimpan menghendaki. Hal
ini sesuai dengan anjuran dalam islam agar aset selalu diusahakan untuk tujuan
produktif ( tidak idle atau didiamkan saja).
Dengan
prinsip ini, penyimpan boleh mencampur aset penitip dengan aset penyimpan yang
lain, dan kemudian digunakan untuk tujuan produktif mencari keuntungan. Pihak
penyimpan berhak atas keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan aset titipan
dan bertanggung jawab penuh atas risiko kerugian yang mungkin timbul.Selain
itu, penyimpan diperbolehkan juga atas kehendak sendiri, memberikan bonus
kepada pemilik aset tanpa akad perjanjian yang mengikat sebelumnya.Dengan
menggunakan prinsip yadh dhamanah, akad titipan seperti ini disebut Wadiah
yad Dhamanah dengan skema seperti pada gambar di bawah ini:
Rukun dan Syarat Wadiah
1. Rukun Wadiah
Menurut
Hanafiyah rukunWadiah yaitu ijab dan qobul. Sedangkan yang lainnya
termasuk syarat dan tidak termasuk rukun. Menurut Hanafiyah, dalam shigot ijab
dianggap sah apabila ijab tersebut dilakukan dengan perkataan yang jelas
(sharih) maupun dengan perkataan samar (kinayah). Sedangkan menurut Syafi‟iyah,
Rukun Wadiah yang harus dipenuhi dalam transaksi dengan prinsip wadiah
adalah sebagai berikut :
a Barang
yang dititipkan( wadiah)
b Orang
yang menitipkan/ penitip(mudi’ atau muwaddi’) dan Orang yang menerima
titipan (muda’atau mustawda’)
c Ijab
qobul( sighot)
2. Syarat Wadiah
a. Syarat
orang yang menitipkan dan penerima titipan sudah balig berakal serta syarat
syarat lain yang sesuai dengan syarat berwakil.
Adapun
rukun dan syarat wakalah sebagai berikut :
1) Orang
yang mewakilkan(muwakkil) syaratnya dia berstatus sebagai pemilik
urusan/ benda dan mengusainya serta dapat bertindak terdapat harta tersebut
dengan dirinya sendirinya. Jika itu bukan pemiliknya atau bukan orang yang ahli
maka batal. Dalam hal ini, maka anak kecil dan orang gila tidak sah menjadi muwakkil
karena tidak termasuk orang yang berhak untuk bertindak.
2) Wakil
(orang yang mewakili) syaratnya ialah orang berakal. Jika ia idiot, gila,
atau belum dewasa maka batal. Tapi menurut hanafiyah anak kecil yang cerdas
(dapat membedakan yang baik dan buruk) sah menjadi wakil alasanya bahwa Amr bin
sayidah ummu salamah mengawinkan ibunya kepada Rasulullah SAW, saat itu Amr
masih kecil yang belum baligh. Orang yang berstatus sebagai wakil ia tidak
berwakil kepada orang lain kecuali seizing dari muwakkil pertama atau
karena terpaksa seperti pekerjaan yang diwakilkan teerlalu banyak sehingga ia
tidak dapat mengerjakan sendiri maka boleh berwakil kepada orang lain. Si wakil
tidak wajib menanggung kerusakan barang yang diwakilkan kecuali disengaja atau
cara di luar batas.
3) Muwakkal
fih ( sesuatu yang diwakilkan ) syaratnya :
·
Pekerjaan/ urusan dapat diwakilkan atau
digantikan oleh orang lain.Oleh karena itu tidak sah untuk mewakilkan untuk
mengerjakan ibadah salat, puasa, dan membaca alquran.
·
Pekerjaan itu di miliki oleh muwakkil sewaktu
akad wakalah. Oleh karena itu, tidak sah berwakil menjual sesuatu yang
belum dimilikinya.
· Pekerjaan itu diketahui secara jelas. Maka tidak
sah mewakilkan sesuatu yang masih samar seperti “aku jadikan engakau sebagai
wakilku untuk mengawini salah satu anakku.
b. Syarat
barang yang dititipkan itu yang memuliakan meskipun najis seperti anjing yang
bermanfaat dan satu biji gandum.
c. Syarat
sah sighot: lafadz yang di ucapakan dari salah satu pihak dan perbuatan yang
dilakukan dari pihak yang terakhir, atau lafadz dari dua orang yang bersamaan.
Sighot itu ada 2, pertama Sighot yang sarih atau jelas, contohnya: “saya menitipkan barang ini “, “jagalah barang ini”. Dan yang kedua
adalah Sighot kinayah atau kiyasan, contohnya : “ambilah barang ini”, dengan niat menitipkannya.
d. Ketentuan
atau syarat tentang wadiah yad amanah :
1) Pihak
yang dititipi tidak boleh memanfaatkan barang yang dititipkan.
2) Pada
saat dikembalikan, barang yang dititipkan harus dalam keadaan yang sama saat
disiapkan.
3) Jika
selama masa penitipan barangnya mengalami kerusakan dengan sendirinya( karena
terlalu tua, lama dll), maka yang menerima titipan tidak berkewajiban menggantinya,
kecuali kerusakan tersebut karena kecerobohan yang dititipi, atau yang menerima
titipan melanggar kesepakatan.
4) Sebagai
imbalan atas tanggung jawab menerima amanah trersebut, yang ditutupi berhak
menetapkan imbalan.
e. Ketentuan
atau syarat tentang wadiah yad dhamanah :
1) penerima
titipan berhak memanfaatkan barang /uang yang dititipkan dan berhak pula
memperoleh keuntungan.
2) penerima
bertanggung jawab penuh akan barang tersebut, jika terjadi kerusakan atau
kehilangan.
3) keuntungan
yang diperoleh karena pemanfaatan barang titipan, dapat diberikan sebagian
kepada pemilik barang sebagai bonus atau hadiah.
Landasan Hukum Wadiah
Landasan syariah dan
ketentuan tentang sertifikat wadiah bank Indonesia diatur dalam fatwa dewan
syariah nasional nomor 36/DSN-MUI/X/2002 tentang sertifikat wadiah bank
Indonesia tanggal 23 oktober 2002, dimana dalam fatwa tersebut sebagai landasan
syariah ( himpunan fatwa, edisi kedua, hal 233-236) adalah sebagai berikut :
1. Landasan
Hukum dari Al Quran :
Firman
Allah SWT, QS An Nisa‟ (4) : 29
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan harta sesamamu dengan cara batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka diantara kamu …..”
Firman
Allah SWT, Al Baqoroh (2) : 275
“ Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Firman
Allah SWT, QS Al Baqoroh (2) : 283
“ …Maka, jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, hendaknya yang di percaya itu menunaikan amanatnya (
hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada allah tuhannya”
Firman
Allah, QS An Nisa (4) : 58
“Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”
Firman
Allah, QS Al Maidah ( 5) : 2
“Dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya”
Firman
Allah SWT An Nisa‟ :
“Kemudian apabila kamu
menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi
(tentang penyerahan itu) bagi mereka.”
2. Landasan
Hukum dari Hadist
a.
Dari Amr bin Syuaib, Hadist riwayat Ibnu Majah :
“Barang siapa yang dititipi, makatidak kewajiban baginya
mengganti”.
b. Hadis riwayat Abu Dawud dan Al Tirmidzi :
“tunaikan
amanat itu kepada orang yang memberi amanat kepada mu dan janganlah kamu
mengkhianati orang yang mengkhianatimu”.
3. Hukum menerima benda titipan
Hukum menerima benda tititpan ada empat macam yaitu sunah, haram,
wajib dan makruh. Secara lengkap akan dijelaskan sebagai berikut :
a. Sunah, disunahkan
menerima titipan bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia sanggup
menjaga benda benda yang dititipkan kepadanya.Wadiah adalah salah satu
bentuk tolong menolong yang diperintahkan oleh Allah dalam Alquran, tolong
menolong secra umum. hukumnya sunat. Hal ini dianggap sunnat
menerima benda titipan ketika ada orang lain yang pantas untuk menerima
titipan.
b. Wajib, diwajibkan menerima benda
benda titipan bagi seseorang yang percaya bahwa dirinya sanggup menerima dan
menjaga benda benda tersebut, sementara orang lian tidak ada seorangpun yang
dapat dipercaya untuk memelihara benda benda tersebut.
c.
Haram, apabila seseorang tidak kuasa
dan tidak sanggup memelihara benda benda titipan. Bagi orang seperti itu
diharamkan menerima benda benda titipan, sebab dengan menerima benda benda
titipan, berarti member kesempatan ( peluang ) kerusakan atau hilangnya benda
benda titipan sehingga akan menyulitkan pihak yang menitipkan.
d. Makruh, bagi orang yang percaya
kepada dirinya sendiri bahwa dia mampu menjaga benda benda titipan, tetapi dia
kurang yakin( ragu) pada kemampuannya maka bagi orang seperti ini makruh
hukumnya menerima benda benda titipan, sebab dikhawatirkan dia akan berkhianat
terhadap yang menitipkan dengan cara merusak benda benda titipan atau
menghilangkannya.
4. Rusaknya
dan hilangnya benda titipan
Rusak
dan hilangnya benda benda titipan dapat disebabkan oleh hal hal berikut :
a. Menurut
Suhendi dalam buku Fikih Muamalah dan Kontemporer karangan Prof. Dr. H.Ismail
Nawawi beliau mengungkapakan pendapat Sulaiman Rasyid bahwa jika orang yang
menerima titipan mengaku bahwa benda benda titipan telah rusak tanpa adanya
unsure kesengajaan dirinya maka ucapan harus disertai dengan sumpah supaya
perkataannya itu kuat menurut hukum, namun Ibnu al-Munzir berpendapat bahwa orang tersebut sudah dapat diterima ucapannya
secara hukum tanpa dibutuhkannya sumpah.
b. Menurut
Ibnu Taimiyah, apabila seseorang yang memelihara benda benda titipan mengaku
bahwa benda benda titipan ada yang mencuri, sementara hartanya yang ia kelola
tidak ada yang mencuri maka orang yang menerima benda benda titipan tersebut
wajib menggantinya. Pendapat Ibnu Taimiyah ini berdasarkan pada atsar bahwa
Umar r.a pernah meminta jaminan dari Anas bin Malik r.a ketika barang
titipannya yang ada pada Anas r.a dinyatakan hilang, sedangkan harta Anas r.a
sendiri masih ada.
c. Orang
yang meninggal dunia dan terbukti padanya terdapat benda benda titipan milik
orang lain, ternyata barang barang titipan tersebut tidak dapat ditemukan maka
barang titipan tersebut merupan utang bagi yang menerima titipan dan wajib
dibayar oleh ahli warisnya. Jika terdapat surat dengan tulisannya sendiri, yang
berisi adanya pengakuan benda benda titipan maka surat tersebut dijadikan
peganga karena tulisan dianggap sama dengan perkataan apabila tulisan tersebut
ditulis oleh dirinya sendiri.
d. Bila
seseorang menerima benda benda titipan, sudah sangat lama waktunya, sehingga ia
tidak dapat lagi mengetahui dimana atau siapa pemilik benda benda titipan
tersebut dan sudah berusaha mencarinya denngan cara yang wajar, namun tidak
dapat diperoleh keterangan yang jelas, maka benda benda titipan tersebut dapat
digunakan untuk kepentingan agama Islam dengan mendahulukan hal hal paling
penting diantara masalah masalah yang penting.
loading...