Haniffa (2002) mengemukakan bahwa Islamic Social Reporting (ISR) sangat dibutuhkan oleh masyarakat muslim dengan tujuan menampilkan akuntabilitas kepada Allah SWT dan masyarakat dan untuk meningkatkan transparansi aktivitas bisnis dengan memberikan informasi yang relevan untuk kebutuhan religius para pengambil keputusan Muslim.
Menurut Maali et al. (2006), social
reporting dalam perspektif syariah terkait dengan pemahaman mengenai
akuntabilitas, keadilan sosial dan kepemilikan sosial. Akuntabilitas sangat
dipengaruhi oleh konsep Tauhid, yang menegaskan bahwa segala sesuatu harus
dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT dan segala sesuatu yang dilakukan harus
sesuai dengan perintah-Nya. Konsep keadilan sosial meliputi keadilan kepada
karyawan, pelanggan dan seluruh anggota masyarakat dimana perusahaan
beroperasi. Adapun dalam konsep kepemilikan, Islam mengakui adanya kepemilikan
individu, namun pada hakekatnya segala sesuatu adalah milik Allah SWT sehingga
pemilik bertanggung jawab menggunakan sumber daya yang dimilikinya sesuai
perintah Allah SWT dan bertujuan untuk rahmatan lilalamin (rahmat bagi
seluruh alam).
Dengan meningkatnya pasar modal syariah, perusahaan yang termasuk dalam emiten syariah diharapkan menampilkan pula dimensi religius dalam pengungkapan laporan keuangannya. Stakeholder muslim mengharapkan perusahaan untuk mengungkapkan informasi lebih luas yang dapat membantu mereka memenuhi kebutuhan religius mereka (Othman dan Thani, 2010). Hal ini dikarenakan model pelaporan tanggung jawab sosial yang dikembangkan dalam indeks Corporate Social Responsibility (CSR) selama ini masih belum memenuhi informasi yang diperlukan dari perspektif syariah (Haniffa, 2002)
AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) menetapkan Indeks Islamic Social Reporting (ISR) yang berisi item-item standard CSR yang disesuaikan dengan perspektif syariah untuk memenuhi kebutuhan mengenai pengungkapan tanggung jawab sosial pada entitas keuangan syariah. Namun menurut Harahap (2002), konsep yang digunakan AAOIFI dalam mengembangkan ISR masih menggunakan paradigma konvensional. Meutia et al. (2010) menyatakan bahwa karakteristik pengungkapan tanggung jawab sosial pada entitas syariah adalah sebagai berikut:
a. Pengungkapan
tanggung jawab sosial merupakan bentuk pertanggungjawaban manusia terhadap
Allah SWT dengan tujuan memperoleh legitimasi dari Allah SWT semata.
b. Pengungkapan
tanggung jawab sosial harus bertujuan untuk menyediakan informasi kepada
seluruh stakeholder (baik stakeholder langsung maupun tidak
langsung) dalam hubungannya dengan sejauh mana entitas syariah telah memenuhi
kewajiabannya terhadap seluruh stakeholder.
c. Keberadaan
pengungkapan tanggung jawab sosial adalah suatu kewajiban, dilihat
dari fungsi entitas syariah sebagai sebuah instrumen untuk merealisasikan tujuan syariah.
dari fungsi entitas syariah sebagai sebuah instrumen untuk merealisasikan tujuan syariah.
d. Pengungkapan
tanggung jawab sosial harus menyertakan dimensi material dan spiritual yang
terkait dengan kepentingan seluruh stakeholder. Pertimbangan kepentingan
publik (masalaha) menjadi dasar dari pengungkapan.
e. Pengungkapan
tanggung jawab sosial harus mengandung informasi kuantitatif dan kualitatif.
Beberapa peneliti mencoba mengembangkan indeks ISR
yang lebih disesuaikan dengan konsep akuntansi syariah dengan tujuan
meningkatkan akuntabilitas dan transparansi terutama pada perusahaan yang
terdaftar dalam efek syariah. Instrumen ini diharapkan dapat membantu investor
dalam membuat keputusan ekonomi-religius yang lebih baik (Haniffa, 2002)
Salah satu peneliti yang mengembangkan indeks ISR
adalah Haniffa (2002). Haniffa (2002) mengembangkan ISR didasarkan pada tiga
dimensi syariah yang saling terkait, yaitu: memperoleh rahmat Allah SWT sebagai
tujuan utama dalam mewujudkan keadilan sosial ekonomi, memberikan manfaat bagi
masyarakat dalam rangka memenuhi kewajiban masyarakat dan mencapai
kesejahteraan dalam rangka memenuhi kebutuhan tiap individu. Untuk itu, tujuan
dari pengembangan ISR adalah:
a. Mendemonstrasikan
akuntabilitas perusahaan tidak hanya kepada Allah SWT namun juga kepada masyarakat.
b. Meningkatkan
transparansi aktivitas bisnis dengan menyediakan informasi yang relevan untuk
kebutuhan spiritual dari pembuat keputusan muslim.
Berdasarkan tujuan tersebut, Haniffa (2002)
mengembangkan lingkup pengungkapan ISR yang dibatasi dalam 5 tema, yaitu:
keuangan dan investasi, produk, karyawan, masyarakat dan lingkungan.
1. Tema
Keuangan dan Investasi
Informasi
yang penting diungkapkan terkait dengan tema keuangan dan investasi, meliputi:
apakah sumber keuangan dan investasi perusahaan telah bebas dari riba dan
spekulasi (gharar) karena kedua hal tersebut merupakan hal yang dilarang
(haram) dalam islam, sebagaimana disebutkan dalam Al Quran:
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya
akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu
pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS.
Al-Baqarah:278- 279)
Haniffa
(2002) menyatakan bahwa dalam lingkungan bisnis saat ini, sangat sulit bagi
beberapa perusahaan untuk tidak terlibat dalam aktivitas riba dan gharar
dikarenakan sebagian besar sistem ekonomi dan politik yang berlaku di suatu
negara masih didominasi oleh sistem kapitalis. Namun, untuk mendemonstrasikan
akuntabilitas terhadap masyarakat, semua sumber keuangan dan investasi yang
terkait dengan aktivitas riba dan gharar serta kontribusi keuntungan dari
aktivitas tersebut harus diidentifikasi dan dilaporkan secara jelas.
Disamping
itu, perusahaan juga diharuskan mengungkapkan pembayaran zakat serta informasi
penerima zakat, dikarenakan pembayaran zakat merupakan kewajiban setiap muslim
sebagaimana disebutkan dalam Al Quran:
“Dan dirikanlah sholat,
tunaikan zakat dan ruku’lah bersama orangorangyang ruku’“ ( Qs Al Baqarah : 43
)
2. Tema
Produk
Pengungkapan
dalam tema ini terkait dengan informasi semua produk yang masuk dalam kategori
haram, seperti: minuman keras, babi, perdagangan senjata, perjudian, dan entertainment.
Informasi tersebut harus diidentifikasibersama dengan persentase keuntungan
dari aktivitas tersebut.
“Sesungguhnya
Allah dan Rasul-Nya mengharamkan penjualan khamar, bangkai, babi dan patung
berhala” (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).
3. Tema
Karyawan
Pengungkapan
tema karyawan berkaitan konsep etika amanah dan adl, meliputi
informasi gaji, sifat pekerjaan, pendidikan dan pelatihan dan kesempatan yang
sama. Perusahaan diharuskan memenuhi kewajibannya kepada karyawan dan juga
memastikan bahwa karyawan tidak bekerja secara overload dan tetap
mendapatkan kesempatan untuk memenuhi kewajiban spriritualnya (beribadah).
4. Tema
Masyarakat
Konsep yang melandasi pengungkapan tema
masyarakat adalah ummah, amanah dan adl, yang menekankan pada
pentingnya berbagi dan membantu kesulitan dalam masyarakat melalui aktivitas
sodaqoh, wakaf, dan qardh hasan. Oleh karenanya, perusahaan perlu mengungkapkan
informasi jumlah dan penerima kegiatan sosial yang dilakukan perusahaan
tersebut, sebagaimana dinyatakan dalam Al Quran:
“Jika kamu menampakkan
sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan
kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik
bagimu. Dan Allah akan menghapuskan darimu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan
Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Qs Al-Baqarah: 271).
5. Tema
Lingkungan
Al
Quran memberikan banyak tuntunan terkait dengan lingkungan dan bagaimana
mengelolanya. Konsep yang mendasari pengungkapan tema lingkungan adalah mizan,
i’tidal, khilafah dan akhirah, yang menekankan pada konsep
keseimbangan dan tanggungjawab untuk menjaga lingkungan. Informasi yang perlu
diungkapkan terkait dengan penggunaan sumber daya dan upaya yang dilakukan
untuk melestarikan lingkungan.
“Dan apabila ia
berpaling (dari mukamu), ia berjalan di bumi untuk
mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang
ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepadanya:
“Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya
berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka jahannam. Dan sungguh
neraka jahannam itu tempat tinggal yang seburukburuknya.“ (QS. Al-Baqarah:
205-206).
Othman et al. (2009) mengembangkan instrumen
indeks milik Hanifa (2002) menjadi 43 item indeks pengungkapan, dengan
menambahkan tema tata kelola perusahaan yang dianggap penting karena dapat
memastikan apakah perusahaan mematuhi prinsip-prinsip syariah dan tidak
melakukan aktivitas/transaksi yang melanggar prinsip-prinsip syariah. Terkait
dengan tema tata kelola perusahaan, perusahaan harus mengungkapkan semua
aktivitas yang dilarang, seperti: praktek monopoli, penimbunan bahan pokok,
manipulasi harga, perjudian dan segala aktifitas yang melanggar hukum. Hal
tersebut ditegaskan dalam Al Quran sebagaimana tercantum dalam ayat di bawah
ini:
“Dan janganlah kamu
campur-adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan
yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (Qs. Al Baqoroh: 42).
loading...
0 komentar:
Post a Comment