Landasan Hukum Asuransi Syariah

        a.     Ketentuan Umum
Landasan dasar Asuransi Syariah adalah adalah sumber dari pengambilan hukum praktik asuransi syariah. Karena sejak awal asuransi syariah dimaknai sebagai wujud dari bisnis pertanggungan yang didasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam, yaitu al-Qur‟an dan sunnah Rasul.

1)      Al-Qur‟an
Al-Qur‟an tidak menyebutkan secara tegas ayat yang menjelaskan tentang praktik asuransi seperti yang ada pada saat ini. Hal ini terindikasi dengan tidak munculnya istilah asuransi atau al-ta‟min secara nyata dalam al-Qur‟an. Walaupun begitu al-Qur‟an masih mengakomodir ayat-ayat yang mempunyai muatan nilai-nilai dasar yang ada dalam praktik asuransi, seperti nilai dsar tolong-menolong, kerja sama, atau semangat untuk melakukan proteksi terhadap peristiwa kerugian dimasa mendatang.

Diantara ayat-ayat al-Qur‟an yang mempunyai muatan nilai-nilai yang ada dalam praktik asuransi adalah:
Artinya: “... Tolong-menolonglah kamu (mengerjakan) kebaikan dan takwa, jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (QS. Al-Maidah [5]: 2)

Ayat ini memuat perintah tolong-menolong antar sesama manusia. Dalam bisnis asuransi, nilai ini terlihat dalam praktik kerelaan anggota (nasabah) perusahaan asuransi untuk menyisihkan dananya agar digunakan sebagai dana sosial (tabarru). Dana sosial ini berbentuk rekening tabarru‟ pada perusahaan asuransi dan difungsikan untuk menolong salah satu anggota (nasabah) yang sedang mengalami musibah.

2)   Sunah Rasul
Hal yang mendukung tentang praktik asuransi syariah juga berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW. Berikut ini hadits yang mendukung prinsip-prinsip muammalah untuk diterapkan di dalam asuransi syariah.
Diriwayatkan dari Abu Musa ra. Ia berkata bahwa Rasullah saw bersabda: „Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain adalah seperti sebuah bangunan di mana sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.‟” (HR Bukhari dan Muslim)

3)   Landasan Yuridis Asuransi Syariah
Pertumbuhan perekonomian khususnya dunia usaha asuransi merupaka salah satu bidang usaha yang sangat potensial untuk dikembangkan. Dalam segi hukum positif, asuransi syariah masih mendasarkan legalitasnya pada Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang perasuransian. Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan.

Pengertian diatas tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi asuransi syariah karena tidak mengatur keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah, serta tidak mengatur teknis pelaksaan kegiatan asuransi dalam kaitannya kegiatan administrasinya.

Pedoman untuk menjalankan usaha asuransi syariah terdapat dalam fatwa Dewan Syariah nasional majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 21/ DSN-MUI/ X/ 2001 tentang pedoman Umum Asuransi Syariah.
         
         b.    Akad Asuransi Syariah
Asuransi sebagai bentuk kontrak modern tidak dapat terhindar dari akad yang membentuknya. Hal ini disebabkan klarena dalam praktiknya, asuransi melibatkan dua orang yang terikat oleh perjanjian untuk saling melaksanakan kewajiban, yaitu antara peserta asuransi dan perusahaan asuransi. Berkenaan dengan ini Allah SWT. Berfirman dalam QS. Al-Maidah [5]:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu....” (QS. Al-Maidah [5]:1)

Akad secara bahasa berarti “ar-ribthu” atau ikatan, yaitu ikatan yang menggabungkan antara dua pihak. Secara terminologi fiqh, akad didefinisikan dengan “pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikataan”.

Pencantuman kalimat yang sesuai dengan kehendak syariat maksudnya adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara‟. Misalnya kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain. Sedangkan pencantuman kalimat “berpengaruh pada objek perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak yang lain (yang menyatakan qabul).

Majelis Ulama Indonesia, melalui Dewan Syariah Nasional, mengeluarkan fatwa khusus tentang: Pedoman Umum Asuransi Syariah sebagai berikut:
           
         1.    Ketentuan Umum
a)  Asuransi Syariah (Ta,min, Takaful, Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan saling menolong di antara sejumlah orang/ pihak melalui investasi dalam bentuk aset atau tabarru‟ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.

b)   Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada poin ke (1) adalah yang tidak mengandung gharar “penipuan”, maisir “perjudian”, riba (bunga), zulmu “penganiayaan”, riswah “suap”, barang haram, dan maksiat.

c)  Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.

d)  Akad tabarru‟ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebaikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.

e)  Premi adalah kewajiban peserta untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

f)   Klaim adalah hak peserta asuransi yang wajib diberi perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

        2.    Akad dalam Asuransi
a)  Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan atau akad tabarru‟

b)  Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah, sedangkan akad tabarru‟ adalah hibah.

c)  Dalam akad sekurang-kurangnya disebutkan:
1)   Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan
2)   Cara dan waktu pembayaran premi
3)   Jenis akad tijarah dan atau akad tabarru‟ serta syarat-syarat yang disepakati sesuai dengan jenis asuransi yang diakad.
         
          3.    Kedudukan Setiap Pihak dalam Akad Tijarah dan Tabarru‟
a)  Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib “pengelola” dan peserta bertindak sebagai shahibul mal “pemegang polis”

b)  Dalam akad tabarru‟ “hibah”, peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan, perusahaan sebagai pengelola hibah.

        4.    Ketentuan dalam Akad Tijarah dan Tabarru‟
a) Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru‟ bila pihak yang tertahan haknya dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.

b)  Jenis akad tabarru‟ tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah

         5.    jenis Asuransi dan Akadnya
a)  Dipandang dari segi jenis, asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa.

b) Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah.
         6.    Premi
a)  Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru‟

b) Untuk menentukan besarnya premi, perusahaan asuransi dapat menggunakan rujukan table mortalita untuk asuransi jiwa dan table morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukan unsur riba dalam perhitungannya.

Fatwa tersebut untuk sementara ini merupakan acuan bagi perusahaan asuransi syariah di Indonesia. Terutama menyangkut bagaimana akad-akad dalam bisnis asuransi syariah.




Referensi:

Ali Zainuddin, Hukum Asuransi Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008,
Didin Hafidhuddin, et al. Solusi Berasuransi, Bandung: PT Karya Kita, 2009
FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL NOMOR 21/DSN-MUI/X/2001 TENTANG PEDOMAN UMUM ASURANSI SYARI’AH
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan sistem Operasional, Jakarta: Gema insani Press, 2004,
loading...

0 komentar:

Post a Comment