Prinsip-prinsip Asuransi Syariah

Industri asuransi baik asuransi kerugian maupun asuransi jiwa, memiliki prinsip-prinsip yang menjadi pedoman bagi seluruh penyelenggaraan kegiatan perasuransian di mana pun berada. Oleh karena itu di dalam asuransi adanya beberapa prinsip-prinsip umum muamalah yang melandasi asuransi Syariah, diantaranya:


       1.     Tauhid (Ketakwaan)
Jika kita mencermati ayat-ayat Al-Qur‟an tentang Muamalah, maka akan terlihat dengan jelas bahwa Allah selalu menyeru kepada umat-Nya agar muamalah yang dilakukan membawanya kepada ketakwaan kepada Allah. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
“dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maa‟idah: 2).

Seorang muslim ketika membeli dan menjual, menyewakan dan memperkerjakan, melakukan penukaran dengan yang lainnya dalam harta atau berbagai kemanfaatan, ia selalu tunduk kepada aturan Allah dalam muamalahnya. Allah meletakan prinsip tauhid (ketakwaan) sebagai prinsip utama dalam muamalah.oleh karena itu, segala aktivitas dalam muamalah harus senantiasa mengarahkan para pelakunya dalam rangka untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Inilah bagian dari hikmah mengapa dalam konsep muamalah yang islami diharamkan beberapa hal berikut.
a)  Diharamkan muamalah yang mengandung maksiat kepada Allah, sehingga yang dihasilkan dari perbuatan maksiat pun diharamkan.
b)   Diharamkan memperjualbelikan barang-barang yang diharamkan, baik barang yang haram dikonsumsi (seperti: khamar dan babi) maupun haram untuk dibuat dan diperlakukan secara tidak proporsional (misalnya: patung-patung).
c)  Diharamkan berbuat kecurangan, penipuan, dan kebohongan dalam muamalah.
d)  Diharamkan mempertuhankan harta. Korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah buah dari sikap manusia yang mempertuhankan harta dan jabatan.

        2.     Al-Adl (Sikap Adil)
Prinsip kedua dalam muamalah adalah al-„adl. Cukuplah bagi kita bahwa Al Qur‟an telah menjadikan tujuan dari semua risalah langit adalah melaksanakan keadilan.Al-„Adl „Yang Maha Adil‟ adalah termasuk di antara nama-nama Allah (Asmaul Husna). Lawan kata dari keadilan adalah kezaliman (azd-Zhulm), yaitu sesuatu yang telah diharamkan Allah atas diri-Nya sebgaimana yang telah diharamkan-Nya atas hamba-hamba-Nya.31 Karena itu, islam sangat ketat dalam memberikan perhatian terhadap pelanggaran kezaliman, penegakan larangan terhadapnya , kecaman keras kepada orang-orang yang zalim.firman Allah tentang perbuatan zalim:
“Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Asy-Syura: 40)

Dalam praktik bisnis, proses saling menzalimi mungkin dapat terjadi dalam 3 hal sebagai berikut:
1)    Dalam hubungan dengan nasabah
2)    Dalam hubungan dengan karyawan
3)    Dalam hubungan dengan pemilik modal (investor)

Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil dan membenci orang-orang yang berbuat zalim, bahkan melaknat mereka. Firman-Nya:

“Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim.”(Huud: 18)

        3.     At-Ta‟awun (Tolong-Menolong)
Dalil dalam Al-qur‟an tentang ta‟awun, sebagai berikut:


“Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (al-Maa‟idah:2)

Prinsip keempat yang menjadi landasan etika dalam muamalah secara islam adalah ta‟awun. Ta‟awun merupakan salah satu prinsip utama dalam interaksi muamalah. Bahkan, ta‟awun dapat menjadi fondasi dalam membangun sistem ekonomi yang kokoh, agar pihak yang kuat dapat membantu yang lemah, masyarakat yang kaya memperhatikan yang miskin dan seterusnya.

Ta‟awun merupakan inti dari konsep takaful, dimana antara satu peserta lainnya saling menanggung risiko. Yakni melalui mekanisme ana Tabarru‟ dengan akad yang benar yaitu Aqd Takafuli atau Aqd Tabarru‟.

       4.     Al-Amanah (Terpecaya/ Jujur)
Al-Qaradhawi mengatakan bahwa diantara nilai transaksi yang terpenting dalam bisnis adalah al-amanah “kejujuran”. Ia merupakan puncak moralitas iman dan karakteristik yang paling menonjol dari orang-orang yang beriman.

Prinsip amanah dalam organisasi perusahaan dapat terwujud dalam nilai-nilai akuntabilitas (pertanggungjawaban) perusahaan melalui penyajian laporan keuangan tiap periode. Dalam hal ini perusahaan harus memberi kesempatan yang besar bagi nasabah untuk mengakses laporan keuanagn perusahaan. Laporan keuangan yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi harus mencerminkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam muamalah dan melalui auditor publik.

Oleh karena iti, sifat terpenting bagi pedagang yang diridhai Allah adalah kejujuran. Dalam sebuah hadist dikatan:

“pedagang yang jujur dan dapat dipercaya (penuh amanah) adalah bersama para nabi, orang-orang yang membenarkan risalah Nabi saw. (shiddiqin), dan para syuhada (orang yang mati syahid).” (HR at-Tirmidzi dari Abu Sa’id al-Khudri)

       5.     Ridha (Saling Rela)
Prinsip kerelaan (al-ridha) dalam ekonomika islami berdasar pada firman Allah SWT. Dalam QS An-Nisa‟ [4]: 29


Artinya: “... kerelaan di antara kamu sekalian ...” (QS. An-Nisa‟ [4]: 29)

Ayat ini menjelaskan tentang keharusan untuk bersukap rela dan ridha dalam setiap melakukan akad (transaksi), dan tidak ada paksaan antara pihak-pihak yang terikat oleh perjanjian akad. Sehingga kedua belah pihak bertransaksi atas dasar kerelaan bukan paksaan.

Dalam bisnis asuransi, kerelaan (al-ridha) dapat diterapkan pada setiap anggota (nasabah) asuransi agar mempunyai motivasi dari awal untuk merelakan sejumlah dana (premi) yang disetorkan ke perusahaan asuransi, yang difungsikan sebagai dana sosial (tabarru‟). Dana sosial (tabarru‟) memang betul-betul digunakan untuk tujuan membantu anggota (nasabah) asuransi lain jika mengalami bencana kerugian. Jadi keridhaan dalam muamalah merupakan syarat sahnya akad antara kedua belah pihak, sedangkan mengetahui adalah syarat sahnya ridha.

        6.     Bebas Riba
Dalam setiap transaksi, seorang muslim dilarang memperkaya diri dengan cara yang tidak dibenarkan:

Artinya: “ hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa‟ [4]: 29)

Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan untuk istilah teknis riba berarti pihak lain yang rugi.  Hal ini tampak jelasa apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum masa reversing period, biasanya tahun ketiga maka yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja. Juga adanya unsur keuntungan yang dipengaruhi oleh pengalaman underwriting, dimana untung-rugi terjadi sebagai hasil dari ketetapan.

        7.     Bebas Gharar (Ketidakpastian)
Gahrar dalam pengertian bahasa adalah al-khida‟ (penipuan), yaitu suatu tindakan yang di dalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan.42 Rasulullah SAW bersabda tentang gharar dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut:


Artinya: “Abu hurairah mengatakan bahwa Rasulullah SAW. Melarang jual-beli hashah dan jual-beli gharar.” (HR. Bukhari-Muslim)




Referensi:
Al-Qur'an
Ali Zainuddin, Hukum Asuransi Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008,
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan sistem Operasional, Jakarta: Gema insani Press, 2004,
loading...

0 komentar:

Post a Comment