1. Tenaga
Kerja dalam Perspektif Ekonomi Islam
Menurut Imam
Syaibani: tenaga kerja adalah segala usaha dan ikhtiar yang dialkukan oleh
anggota badan atau pikiran untuk mendapatkan imbalan yang pantas. Termasuk
semua jenis kerja yang dilakukan fisik atau pikiran. Tenaga kerja sebagai satu
faktor produksi mempunyai arti yang besar. Karena semua kekayaan alam tidak
berguna bila tidak di eksploitasi oleh manusia dan di olah buruh. Alam telah
memberikan kekayaan yang tidak terhitung tetapi tanpa usaha manusia semua akan
tersimpan.
Islam mendorong umatnya untuk bekerja dan memproduksi, bahkan menjadikannya sebagai sebuah kewajiban terhadap orang-orang yang mampu. Lebih dari itu Allah akan memberi balasan yang setimpal yang sesuai dengan amal/kerja sesuai dengan firman Allah dalam QS.an Nahl ayat 97
Atinya: ”Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.
Ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman.
Sedangkan hadist Nabi yang berkaitan dengan bekerja dapat dikemukakan antara lain:
1. Dari
Ibn Umar r.a ketika Nabi ditanya: Usaha apakah yang paling baik? Nabi menjawab
yaitu pekerjaan yang dilakukan oleh dirinya sendiri dan semua jual beli yang
baik.
2. H.R
Imam Bukhari “Sebaik-baiknya makanan yang dikonsumsi seseorang adalah
makanan yang dihasilkan oleh kerja kerasnya dan sesungguhnya Nabi Daud as
mengonsumsi makanan dari hasil keringatnya (kerja keras).”
Bentuk-bentuk kerja yang disyariatkan dalam Islam adalah pekerjaan yang dilakukan dengan kemampuannya sendiri dan bermanfaat, antara lain:
a)
Menghidupkan
tanah mati
b)
Menggali
kandungan bumi
c)
Berburu
d)
Makelar
(samsarah)
e)
Perseroan
antara harta dengan tenaga (mudharabah)
f)
Mengairi
lahan pertanian (musaqat)
g)
Kontrak
tenaga kerja (ijarah).
2. Upah (Ijarah) dalam Perspektif Ekonomi Islam
Ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti
al-iwadl (pengganti atau upah) sehingga ijarah menurut bahasa berarti
upah. Sedangkan
menurut istilah ijarah sebagai pemilikan jasa dari seorang ajir (orang
yang diontrak tenaganya) oleh musta’jir (orang yang mengontrak tenaga )
serta pemilikan harta dari pihak musta’jir oleh seorang ajir. Dengan
kata lain ijarah merupakan transaksi terhadap jasa tertentu dengan disertai
kompensasi.
Syarat sah dan tidaknya transaksi ijarah tersebut adalah adanya jasa yang dikontrak haruslah jasa yang mubah. Hal-hal yang terkait dengan kesepakatan kerja adalah sebagai berikut:
a.
Ketentuan
kerja
b.
Bentuk
kerja
c.
Waktu
kerja
d.
Gaji
kerja
Upah dapat digolongkan menjadi 2, yaitu:
1) Upah
yang telah disebutkan (ajrul musamma), yaitu upah yang telah disebutkan
pada awal transaksi, syaratnya adalah ketika disebutkan harus disertai adanya
kerelaan (diterima) oleh kedua belah pihak.
2) Upah
yang sepadan (ajrul mistli), yaitu upah yang sepadan dengan kerjanya
serta sepadan dengan kondisi pekerjaannya.
3. Penetapan Harga dalam Perspektif Ekonomi Islam
Penetapan harga
dalam perspektif ekonomi Islam telah dikaji oleh beberapa fuqoha dan ekonom
Muslim. Diantaranya:
a. Abu
Yusuf (731-798)
Dalam kitabnya yang terkenal Al-Kharaj. Abu
Yusuf merupakan awal terawal yang mulai menyinggung mekanisme pasar. Ia
misalnya memperhatikan peningkatan dan penurunan produksi dalam kaitannya
dengan perubahan harga. Pemahaman saat itu mengatakan bahwa bila tersedia
sedikit barang, maka harga akan mahal dan demikian sebaliknya. Pada kesimpulan
Abu Yusuf menyatakan murah atau mahalnya suatu harga merupakan ketentuan Allah.
b. Ibnu Taimiyah (1263-328)
Dalam kitabnya Majmu Fatawa Syakh Al-Islam dan
kitab Al-Hisbah fi Al-Islam. Ibnu Taimiyah menyatakan perubahan dalam
penawaran digambarkan sebagai peningkatan atau penurunan dalam jumlah barang
yang ditawarkan. Sedangkan permintaan ditentukan oleh selera dan pendapatan.
Dan menurut Ibnu Taimiyah bila seluruh transaksi sudah sesuai dengan aturan,
kenaikan harga yang terjadi merupakan kehendak Allah.
c. Ibnu Khaldun (1332-1404)
Dalam bukunya muqaddimah menulis secara khusus satu
bab tentang harga-harga di kota. Selain itu Ibnu Khaldun juga menjelaskan
mekanisme permintaan dan penawaran dalam menciptakan harga keseimbangan.
Kemudian dijelaskan pula meningkatnya biaya produksi karena pajak mempengaruhi penawaran.
Referensi:
Anita
Rahmawati, Ekonomi Makro Islam, STAIN KUDUS, Kudus, 2009, hal. 302
Nurul
huda et al. Ekonomi Makro islam: Pendekatan Teoritis, Prenada Media
Group, Jakarta, 2008
loading...
0 komentar:
Post a Comment